Home » » Lukisan Ombak D. Kemalawati (Review Puisi)

Lukisan Ombak D. Kemalawati (Review Puisi)

Written By sanggarsejarah on Selasa, 02 Juli 2013 | 05.14



Lukisan Ombak D. Kemalawati
oleh: Menara Hitam


Engkaukah itu yang hanya diantar relawan ke liang-liang panjang pekuburan

Haru ketika kita semua mengingat tragedi gelombang tsunami yang menyapu pantai barat Aceh pada tahun 2004. Nusantara berkabung pada saat itu, memori kelam berlatar belakang kematian masal membuat mata dunia terpusat hingga terapresiasi dalam bentuk ribuan bela sungkawa. Dunia berusaha berpartisipasi dengan menyumbangkan barang dan jasa diantaranya dalam bentuk; pangan, pakaian, tenda maupun tenaga. 

Beberapa sastrawan juga turut mencurahkan kepiluan tersebut melalui dunianya. Salah satunya adalah D. Kemalawati, beliau adalah penulis puisi kelahiran 1965 dari kota Meulaboh yang porak poranda oleh tsunami 2004. Berikut adalah beberapa kesan kesedihan dari kumpulan puisi "Sajak Untuk Pelukis Ombaku" dari kumpulan sajaknya yang berjudul Surat Negeri Tak Bertuan , pertama dari tiga puisi yang diciptakan beliau saat tragedi tsunami aceh.
apakah  artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja.

Dalam penggalan bait di atas, D. Kemalawati mengungkapkan keluh kesahnya pada laut yang tiba-tiba saja tidak bersahabat. “ia telah murka…menerkam apa saja” merupakan sebutan personifikatif untuk tsunami.  Pada baris ini juga beliau menggugah persepsi dan tafsir pembaca  untuk tertuju pada dahsyatnya gelombang tsunami yang “murka” dan “menerkam apa saja” tanpa pandang bulu.

Kesan pada puisi-puisi ini pada bagian tertentu menyiratkan kengerian, seperti “menerkam apa saja” yang tak pernah diperkirakan oleh manusia. Tidak peduli “apakah pagi itu engkau masih membedaki/punggung suamimu/yang lelah  berbaring seharian/ memandikan sikecilmu/sambil mencandai keningnya yang lucu/atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu”.

Curahan yang sangat dalam mengenai pemikiran dan perenungan D Kemalawati dapat kita resapi melalui bait 3 dan 4 seperti kutipan ini, pada baris ini juga beliau mengungkapkan kesedihan atas hilangnya orang yang disayangi (yang hilang tersapu tsunami):

apakah  arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan

engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan

Perasaan miris, tragis, sedih dan penuh tanda tanya bercampur aduk dalam lambang, kias ataupun gaya bahasa yang menyeret perasaan dan batin pembacanya, disini seolah-olah pembaca dapat merasakan langsung tragedi tsunami yang menelan banyak korban bergelimpangan di tanah Aceh, dibungkus plastik hitam, lalu dikuburkan secara massal tanpa batu nisan.

Dalam sajak gubahan D Kemalawati  penuh dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, etis, dan estetis. Kita nikmati bait 5 berikut ini:

kepada  siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kaulukiskan ombak itu

Pertanyaan filosofis, etis dan disajikan secara estetis ini terbedah sebuah realitas bahwa aku pada bait tersebut merasa hampa. Perasaan hampa itu lalu menyeret langkah kakinya untuk menemukan rumah yang pada dindingnya bergantung aneka lukisan ombak. Pembaca oleh D Kemalawati diseret ke sebuah gambaran kehampaan lantaran “pelukis ombak” yang dicarinya itu tiada diketemukan jejaknya, hilang digulung ombak tsunami. Dalam situasi serupa itu lalu muncul sebuah kesadaran yang dituangkan dalam bait terakhir sajaknya, seperti ini:

aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu

Kesan pada “Sajak Untuk Pelukis Ombaku" dalam kumpulan sajak Surat Negeri Tak Bertuan  yang substansinya merupakan tragedi tsunami Aceh pada tahun 2004, adalah gugahan untuk semakin saling mengasihi antar manusia. Di luar konteks tsunami Aceh tersebut, bagaimana jika kita kehilangan (secara tragis) mereka yang pernah menjadi rekan seperjuangan, entah kita pernah mengasihinya ataupun membencinya bahkan menjadi musuh. Karena hikmahnya musuh jualah yang secara tidak langsung menjadikan kita manusia dewasa, adalah manusia yang sama-sama berpijak pada perjuangan menuju akherat. Bagaimana jika kita kehilangan sanak saudara secara tragis, yang mungkin pernah berbeda ideologi dalam hal apapun atau mungkin pernah kita cela. Karena pada dasarnya agama manapun tidak mengajarkan sifat benci, khususnya Indonesia yang mayoritas merupakan agama Samawi (Abrahamik).
Share this article :

Follow this Blog



 
Support : Daniar Murdi(kotoran om dan)
Copyright © 2013. Menara Hitam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Menara Hitam
Proudly powered by Blogger