1. Menulis
a. Pengertian
Menulis ialah
menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa
yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca
lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran
grafik itu lain (Tarigan 1982: 22). Dalam hubungannya dengan pengajaran bahasa,
menurut Owens (dalam Soenardji dan Hartono, 1998: 102) menulis adalah
menggabungkan sejumlah kata menjadi kalimat yang baik dan benar menurut tata
bahasa, dan menjalinnya menjadi wacana yang tersusun.
Kegiatan menulis merupakan salah satu aspek ketermpilan kebahasaan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak pernah bisa dipisahkan dari dunia
siswa di sekolah. Kegiatan ini tidak semata-mata hanya
kegiatan menulis biasa akan tetapi memiliki tujuan untuk meningkatkan minat siswa pada pembelajaran
menulis.
b. Tujuan
Menulis
Setiap tulisan yang
dihasilkan mengandung beberapa tujuan. Menurut Darmadi (1996: 2) tujuan menulis
adalah perwujudan bentuk komunikasi tidak langsung antara penulis dan pembaca.
Tujuan menulis adalah agar tulisan yang dibuat dapat dibaca dan dipahami oleh
orang lain yang mempunyai kesamaan pengertian terhadap bahasa yang digunakan
(Suriamiharja, 1996: 1).
Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis adalah sebagai bentuk komunikasi
tidak langsung yang dibuat penulis untuk dibaca dan dipahami oleh orang lain.
c. Fungsi
Menulis
Akhadiah, dkk
(dalam Suriamiharja, 1996: 4) mengemukakan bahwa fungsi dari menulis yaitu (1)
penulis dapat mengenali kemampuan dan potensi dirinya, (2) penulis dapat
terlatih dalam mengembangkan berbagai gagasan,
(3) kegiatan menulis dapat memperluas wawasan penulisan secara teoritis
mengenai fakta-fakta yang berhubungan, (4) penulis dapat terlatih dalam
mengorganisasikan gagasan secara sistematis serta mengungkapkan secara
tersurat, (5) penulis dapat meninjau serta menilai gagasannya sendiri secara
objektif, (6) dengan menulis, penulis akan lebih mudah memecahkan permasalahan,
(7) penulis terdorong untuk terus belajar secara aktif, dan (8) membiasakan
penulis berpikir serta berbahasa secara tertib dan teratur.
Dengan menulis
seseorang dapat membuktikan sekaligus menyadari potensi ilmu pengetahuan, ide,
dan pengalaman hidup. Pada prinsispnya fungsi menulis adalah
menuangkan gagasan atau ide seseorang ke dalam bentuk
tulisan, dengan kata lain menulis juga disebut dengan komunikasi
secara tidak langsung.
Dari pernyataan di
atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi menulis adalah sebagai sarana komunikasi
tidak langsung dengan menuangkan gagasan atau ide-ide yang dimiliki ke dalam
bentuk tulisan.
d. Ciri-ciri
Tulisan yang Baik
Darmadi (1996: 24),
mengemukakan ciri-ciri tulisan yang baik adalah (1) signifikan, (2) jelas, (3)
mempunyai kesatuan dan organisasi yang sama, (4) ekonomis, padat isi dan bukan
padat kata, (5) mempunyai pengembangan yang memadai, (6) menggunakan bahasa
yang dapat diterima, dan (7) mempunyai kekuatan. Tulisan yang baik memiliki
ciri-ciri (a) jelas, (b) padat dan utuh, (c) ekonomis, dan (d) mengikuti kaidah
gramatika (Enre, 1988: 9).
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri tulisan yang baik apabila
tulisan mengunakan aspek kebahasaan yang utuh sehingga dapat dipahami oleh
pembaca. Gagasan atau ide tersusun rapi dan jelas dalam bentuk paragraf
sehingga membentuk tulisan yang baik.
2. Wawancara
Pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi kedua (2009:945) wawancara di definisakan sebagai interview;
tanya jawab antara wartawan dengan orang terkemuka dan sebagainya; tanya jawab
dengan seseorang (pejabat dan sebagainya) yang diperlukan untuk dimintai
keterangan atau pendapatnya terhadap suatu hal, untuk dimuat dalam surat kabar,
disiarkan melalui radio, atau ditayangkan di layar televisi; tanya jawab
direksi (kepala personalia, kepala humas) perusahaan dengan pelamar pekerjaan;
tanya jawab peneliti dengan narasumber.
Berdasarkan pengertian dari menulis dan wawancara di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa mnulis wawancara adalah seni
mentransfromasikan ucapan lisan dari narasumber, interview atupun tanya jawab
ke dalam bentuk tulisan. Namun dalam konteks luas khususnya pada pendidikan, yang
dapat menulis wawancara bukan hanya wartawan saja melainkan siswa sebagai
generasi penerus bangsa.
Pembelajaran menulis wawancara akan sangat dibutuhkan oleh
siswa sebagai katerampilan untuk menuangkan hasil pendapat, tanya, jawab
ataupun keterangan lisan dari orang lain. Pada pembelajaran ini, siswa dilatih
untuk menuliskan apa yang dikemukakan orang lain dalam bentuk poin-poin inti
serta memahami hal penting dari wacana lisan tersebut. Pembelajaran menulis
wawancara adalah keterampilan siswa dalam malatih kemampuan menulisakn
pendapat, tanya jawab, ide dari seorang narsumber.
Contoh Hasil Deskripsi Wawancara
"Deskripsi Hasil Wawancara Tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa"
1. Pendahuluan
Persatuan
dan Kesatuan berasal dari kata dasar sama yaitu satu yang berarti utuh atau
tidak terpecah-belah. Persatuan mengandung arti bersatunya macam-macam corak
yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi. Berdasarkan
hal tersebut maka pengertian Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia adalah
Bangsa Indonesia yang satu, utuh dari keanekaragaman yang kompleks. Secara
prinsipil, konsep “Bhineka Tunggal Ika” tidak terlepas dari makna Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dan menjadi
hal yang fundamental.
2. Batasan
pertanyaan wawancara
Agar
materi bahasan terarah maka terdapat tiga batasan masalah pernyataan, yaitu:
b) Apa
yang anda ketahui dan bagaimana tanggapan anda mengenai gerakan sparatis di
Indonesia ?
c) Menurut
anda, apakah rasa Persatuan dan Kesatuan di Indonesia sudah baik? Jika sudah
baik, bagaimana tanggapan anda? Jika belum, bagaimanakah cara yang paling
efektif untuk menanamkan rasa Persatuan
dan Kesatuan di Indonesia ?
3. Populasi
Wawancara
Populasi
wawancara dipilih secara random yang
terdiri dari tiga elemen masyarakat yaitu ibu rumah tangga, mahasiswa dan siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA). Ibu rumah tangga yang dipilih adalah ibu Isnani
Hidayati dengan kegiatan sehari-harinya hanya mengurus rumah tangga, sedangkan untuk
Siswa Sekolah Menengah Atas adalah Georgeus Chandra Herfanda yang secara
akademis diajarkan tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa melalui mata pelajaran
tertentu. Dari tingkatan akademik yang lebih tinggi diambil
subjek wawancara yaitu Natalia Sulistyanti Harsanti yang dalam hal ini adalah mahasiswa.
Populasi wawancara mengambil subjek awam, dalam artian tidak bekerja atau
secara akademik mengkaji Kewerganegaraan ataupun Hukum. Hal ini dimaksudkan
agar dapat diketahui secara mikro apakah makna Persatuan
dan Kesatuan dipahami oleh elemen masyarakat awam.
4.
Pembahasan
Deskrispsi
hasil wawancara terhadap ketiga narasumber sebagai berikut:
a)
Ibu Rumah Tangga
Dari hasil wawancara dapat diketahui jika subjek wawancara hanya
memberikan gambaran superfisialnya saja, dalam artian subjek mengerti akan
definisi Persatuan dan Kesatuan Bangsa namun tidak memberikan
penjabaran konkret. Mengenai tanggapan dari gerakan sparatis di Indonesia,
subjek wawancara hanya mampu mengidentifikasi masalah tersebut pada masalah GAM yang didapat dari media
televisi. Sedangkan penilaian subjek wawancara terhadap implementasi dari
esensi Persatuan dan Kesatuan di Indonesia, subjek mengatakan kurang baik
karena adanya paham sparatisme yang telah diidentifikasinya. Adapun solusi
terhadap penanaman Persatuan dan Kesatuan lebih ditekankan kepada mata
pelajaran tertentu yang diberlakukan di sekolah – sekolah.
b)
Siswa Sekolah Menengah Atas
Dari hasil wawancara diketahui bahwa secara sederhana subjek mampu
memberikan definisi tentang Persatuan dan Kesatuan melalui bahan rujukan oleh mata
pelajaran yang diberikan guru di sekolah. Sedangkan dalam penjabaran gerakan
sparatisme, subjek wawancara hanya mampu mengidetifikasikan sama halnya ibu
rumah tangga di atas yakni permasalahan GAM. Dalam implementasi pananaman rasa
Persatuan dan Kesatuan di Indonesia, subjek menyimpulkan belum sepenuhnya
tercapai dengan solusi dalam ruang lingkup pendidikan dan sadar diri oleh
setiap individu masyarakat Indonesia.
c)
Mahasiswa
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa subjek mampu memberikan pengertian
menyeluruh dengan langsung mengedintifikasi problematika, seperti tawuran antar
kelompok tertentu serta perang antar masyarakat yang terjadi di Indonesia. Dari
materi gerakan sparatis, subjek wawancara memaknai dengan definisi konkret dan
mampu mengidentifikasi secara komprehensif. Hal tersebut dijabarkan dengan
adanya GAM, Papua Merdeka dan RMS yang pernah dan
sedang terjadi di Indonesia. Solusi terhadap penanaman rasa Persatuan dan
Kesatuan lebih ditekankan kepada anak melalui keluarga, lingkungan dan sekolah.
Subjek wawancara juga memberikan solusi akan perlunya mata kuliah yang
berkaiatan dengan Kewarganegaraan dan penanaman moral terhadap penerus bangsa.
5.
Kesimpulan
Dari hasil wawancara dari ketiga subjek wawancara di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan Kesatuan dan Persatuan Bangsa
Indonesia sebenarnya sudah baik. Namun dilihat dari pengetahuan gerakan
sparatisme dan solusinya maka dapat diketahui jika masyarakat Indonesia secara
makro masih cenderung kurang memaknai akan pentingnya rasa solidaritas dan
moralitas. Penanaman moral yang universal harus selalu diimplementasikan dan
menjadi hal yang pokok, hal ini untuk memperbaiki moral dan nilai bangsa agar
tidak terjadi adanya gerakan sparatis oleh kelompok masyakat.