Mengingat
seminar yang disampaikan Taufiq Ismail pada 29 April lalu di Auditorium UNY, hal utama yang saya ingat
adalah “Tata Bahasa. Pokoknya Tata Bahasa...” kenapa demikian? Dalam makalah
maupun ucapan lisan beliau menegaskan jika salah satu kesalahan sistem
pendidikan di Nusantara adalah sikap terlalu “mengagungkan” pembelajaran kita
akan tata bahasa. Semestinya pembelajaran tata bahasa diwajibkan hanya 6 tahun
saja (SD dan SMP), untuk SMA yang ditekankan adalah pembelajaran membaca dan
menulis. Kegiatan pembelajaran demikian bukan berarti kita sama sekali
meniadakan tata bahasa pada tingkat lepas SMP, namun guru dapat mengarahkan
tata bahasa siswa ketika kegiatan menulis.
Dalam konteks permasalahan dan teks
makalah seminar saya cenderung setuju untuk pemahan beliau, hanya saja melihat
kenyataan sintakmatik kita saat ini sangat memprihatinkan sekali. Dalam banyak
kasus, ditemui tidak hanya puluhan kali siswa SMA bahkan mahasiswa kesulitan
dalam menentukan S,P,O dan K. Artinya permasalahn sintakmatik bukan perkara
enteng, dan sistem seperti itu apakah ideal diimlpementasikan di Bumi Pertiwi? mengingat
rendahnya kemauan siswa akan membaca. Artinya kegiatan membaca bukan saja
diamini pada sistem pembelajaranya saja, namun doktrin semangat membaca juga
harusnya menjadi hal fundamental.
Hal lain yang membuat saya menarik
pada makalah tersebut yakni bahwa wajib baca pada pemerintahan Hindia – Belanda
di Nusantara pada masa itu adalah 25 buku sastra dan wajib tulis 108 karangan di
sekolah AMS, itu setara dengan pembelajaran membaca dan menulis pada hari ini
di SMA pada negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Produk dari kurikulum
tersebut adalah tokoh-tokoh besar di Indonesia. Artinya dari sudut pandang kaum awam pun dapat menilai bahwa menurunya
mutu pendidikan negeri saat ini dibandingkan era kolonial. Namun sayangnya
untuk permasalah tersebut beliau kurang menyampaikan solusi untuk bobroknya
sistem pendidikan tersebut. Jadi hikmah yang dapat dipetik dari semua konteks
permasalahan di atas adalah perlunya
kesadaran kita akan kegiatan baca dan tulis, terlebih bagi mahasiswa calon guru
agar mampu mengkondisikan hal serupa dikemudian hari dengan doktrin semangat
baca dan kreatifitas tulis kepada peserta didik, minimal pada diri sendiri.