SERUAN SI AMANAT
DAN SETTING
Cakrawala terasa aneh kali
ini, terbentang luas di atas pohon-pohon besar serta bangunan-bangunan berbata
merah. Di hadapan tempatku berdiri terdapat
sebuah jalan tanah yang lebar, pada ujungnya kudapati pasar tradisional dengan
ratusan orang melakukan transaksi beserta suasana dan pakaian yang aneh pula. Jauh
kupandang ke arah kiri terdapat bangunan megah dihiasi elemen emas, segalanya terangkai
indah sekali. Tanah lapang berada di depan bangunan besar dan cantik itu,
luasnya sampai pada jalan tempat dimana kini aku berpijak. Aneh dan kagum
bercampur bingung menjadi perasaan yang tidak biasa aku alami, namun sepertinya
semua ini pernah kulihat sebelumnya. Sejenak kuputar tubuh untuk melihat alam
sekitar agar pandanganku lebih luas, sekaligus mencari jawab atas rasa
penasaranku, “astaga!”
“Apa kabar anak muda?”
Saat kuberpaling perlahan
tampak orang tua yang entah darimana datangnya persis di belakangku, hampir
saja aku mengambil langkah seribu, bahkan kaki ini sempat mundur bebarapa
langkah. Orang itu mengenakan cakil sampai hampir menutupi seluruh kepalanya,
namun masih sedikit terlihat wajah orang itu teramat tua dan seram. Secara
fisik ia berperawakan kurus, bertelanjang dada dengan celana hitam panjang dan
selebihnya aku tak tahu karena mata sudah kualihkan pada dua orang perempuan yang
mungkin datang bersama kakek itu.
Dua orang perempuan itu
cantik parasnya, berpakaian sutera dengan selendang tipis terikat di
pinggangya, hanya saja style mereka tetap
saja kuanggap aneh apalagi bapak tua yang bertampang kurang sedap itu.
“Siapa anda? Tempat apa
ini? Dimana sutradaranya dan para krunya? Nampaknya perkembangan film kolosal
di Indonesia akan mengalami perubahan besar ya? Wah luar biasa hebat dekorasi setting
tempat yang kalian gunakan. Selamat.. selamat!!
“Hahaha, dengar anak
muda, aku lebih baik memilih iblis tapi menyembah Tuhan Allah, setidaknya iblis
konsekuen terhadap apa yang harus mereka lakukan, mempunyai ketegasan dan
keberanian berbuat, landasan pikir yang kokoh, daripada menjunjung tinggi Agama
yang sudah dipoles politik munafik itu, menjunjung tinggi liberalisme atau
kapitalisme, atau apalah itu. Orang-orang yang kalian sebut tikus itu,
kultur-sosial itu, strategi jahat yang seenaknya mereka beri nama kedamaian
itu. Sebenarnya kami ingin membuktikan, apakah orang-orang pada zaman yang
katanya lebih matang daripada kami lebih memilih Tuhan ataukah harta? Sayangnya
kami tak punya kuasa untuk hal tersebut dan tampaknya ini retoris! Hahahahaha”
Semakin
tak karuan saja rasa bingung menggerayangi pikiran, apa maksud orang ini? Nampaknya
guru orang ini ketika bersekolah gagal dalam mengajarkan cara menjawab kalimat
tanya ataupun kesantunan berbahasa. “Hmm ini sudah biasa diulas”, batinku.
Belum sempat aku menanggapi perkataan orang tua itu, tiba-tiba salah satu
wanita yang dari tadi hanya tertawa kecil seolah merespon raut wajah
kebingunganku itu menyahut.
“Kamu terlalu cepat tuan
amanat! Tapi aku setuju perkataanmu, hakekatnya malaikat dan iblis itu
bekerjasama, membuat manusia menjadi dewasa dan matang, hahaha sudahlah bagian
itu bukan urusanku!”
“Hai anak muda, perkenalkan
namaku adalah tempat dan ini adalah saudariku yang bernama waktu. Kabarnya ragaku
di masamu sudah tidak karuan. Sudah tidak lagi hijau, dihitam legamkan oleh
manusia-manusia yang mengkambing hitamkan kesejahteraan universal tapi hanya
untuk memperkaya dirinya pribadi atau kaum tertentu. Kabarnya wajahku di masamu
sudah penuh dempul, kalian pikir itu akan membuatku cantik? Hah!” Lanjut wanita
itu yang nada bicaranya makin meninggi.
Raut wajah wanita itu
kusadari tidak lagi bersahabat. Dari perkataan wanita itu aku semakin
bertanya-tanya, apa maksud daripada “ragaku”? Apa maksud dari “masamu”? batinku.
“Haha, aku geli melihat isu
kiamat kalian itu” timpal wanita satunya. “Sesuka jidat saja bermain-main
dengan umurku! Kenapa? kalian takut mati? Toh juga mati bersama-sama, ooo..
atau mungkin kalian tidak yakin amal yang kalian kumpulkan itu lebih besar dari
dosa yang kalian perbuat? Oh ya, bagaimana kuliahmu? Waspadai nafasmu di rumah
intelektual itu, nampaknya sudah semakin tipis, haha”
“Wey mbak! Mas! Anda
sekalian salah orang, aku bukan salah satu aktor dalam pembuatan film kalian
ini. Mohon maaf sekali, nampaknya panitia kalian kurang berkoordinasi. Kalau
ingin latihan menghayati dialog, pendapatku itu sudah cukup baik kok!” tapi....
Belum lagi aku
menyelesaikan perkataanku orang tua tadi berseru.
“Sesungguhnya hidup itu
anugerah yang luar biasa, kematian itu hanya sebuah jembatan namun bukan
berarti harus menyepelekan nyawa.” Melihat tingkah kalian itu.. ah sudahlah! Aku
sudah terbiasa dengan luka, setidaknya air mata adalah sahabat yang selalu mengerti.
Seperti orang bodoh yang
tak tahu harus berbuat apa kugaruk-garuk kepalaku, kutundukkan dan kukernyitkan keningku. “Wah ini lebih baik
pergi saja, masa bodoh dengan apa yang mereka lakukan ini” batinku. Dengan
tampang seperti tidak terjadi masalah aku pun beranjak dari tempatku, bergegas
dari kumpulan orang-orang itu.
“Anak mudaaa! Ingat
tinggal tiga hari lagi... tiga hari lagi..hahaha”
“Ah, bodo amat! Dasar
orang gila!”batinku
Seruan ketiga orang itu
diulanginya beberapa kali hingga kakiku berjarak beberapa puluh langkah dari
mereka. Aku kembali teringat, darimana aku datang? Kemana aku harus pergi?
Dimana ini? Kuhentikan langkahku sembari menoleh ke belakang. Astaga! dimana
mereka dan semua orang yang berlalu lalang dibelakangku? Kuputar badanku untuk
melihat alam sekitar, bahkan semua orang yang sedang bertransaski di pasar menghilang!
Belum habis badan bergidik ngeri tiba-tiba semua makin berubah, cakrawala dan arcapada
bergetar hebat. Mega-mega menjadi merah jingga, armagedon yang terbentang serentak
menciut seolah tersedot oleh black hole
raksasa di atas semuanya. Sontak saja darahku seperti menjadi dingin, terhenti
bahkan kurasakan nyawaku seolah sudah berlarian entah kemana. Kini aku berdiri
kaku di atas kegelapan, arah mata angin tak lagi dapat kuterka, atas dan bawah
seolah sama, aku hanya dapat menyaksikan jagat raya yang susut hingga habis tak
tersisa.
***
Sreeeeeett..
“Gimana kesimpulanya tadi
bro?” kubuka percakapan siang itu di dalam toilet fakultas sambil membuka sleting celana jeansku.
“Tekniknya mesti dielaborasi
lagi ini, penjabaran instrumenya juga harus direvisi, terus bahan rujukan di
kajian teori katanya kurang. Gimana tugas transformasi novelmu? Aaaaahhh lega,
setengah jam kok kayak hampir setahun nahan ini, hahaha.”
“Iya bro, hawanya dingin
banget, sial banget lah tadi di kantin. Nanti tak lapor pengurus fakultas deh,
hahaha. Kantin mesti difasilitasi toilet, kalo hujan kayak gini kan repot bro.”
kututup kembali sleting celana
jeansku sambil menuju kaca yang terawat apik di sisi selatan toilet pria
tersebut.
“Aku galau nih, tadinya
mau ngadopsi karakter tokoh novel Nagabumi I kedalam cerpenku tapi kayaknya ga
jadi. Aku jadi pengen ngadopsi setting tempat dan waktu dari novel itu, sekalian
amanat keseluruhanya, bukan cuma dari sudut si tokoh utamanya aja bro. Tapi ya
tetep transformasinya ke dalam bentuk cerpen” sambungku sembari membasuh tangan
dan membenahi rambut di hadapan cermin.
“Wuih, bahasamu! Koe ki
jan ra tegas kok, lha kemaren katanya mau ngadopsi watak tokohnya? Haha.. Mentang-mentang
tempo hari dapet tanda tangan si Seno Gumira di novel Nagabumi I dan II mu,
terus tugas-tugasmu dikaitke kabeh karo karya-karyane Seno gitu? Subjektif
banget koe seiki, haha”
“Ahaha, asem koe! Memang
kayaknya berat sih ini pilihan karya tulis yang tak pilih, tapi kan kebetulan
aku hampir selesai baca novel itu bro, ya jadi sekalian aja. Dari kemarin sore
sampai malam tak habisin itu novel, sampe kebawa mimpi. Hahaha.”
Ya, memang tugas ini
sudah hampir membuatku gila, kini waktu sudah hampir tengah malam dan aku masih
berada pada dimensi yang masih membosankan. Akan bagaiman arah tulisan yang
akan aku buat kini? Imajinasi dari novel karya Seno Gumira Ajidharma itu sudah
sesak bak kerumunan prajurit yang mengalungkan pedang-pedang tajam di leherku
bersama tuntutan tugas tersebut. Ragapun sudah rindu pada kasur di ujung timur
kamarku yang sedang kutatap, namun durasi tiga hari kedepan sampai aku
mempresentasikan tugas ini membuat pikiran enggan menyetujui kemauan raga. Kualihkan
pandangan kepada novel Nagabumi I yang tergeletak di meja komputerku dari depan
teve ruang tengah kontrakanku ini.
“Inilah yang membuat kami
dewasa. Setidaknya tugas kuliah yang datang secara periodik menjadikan
kematangan dalam berfikir, sepertinya mempersepsi hal tersebut sebagai tuntutan
lebih bijaksana daripada menjadikanya sebagai kesenangan. Tuntutan merupakan bagian
dari masalah, tanpa terpaan masalah-masalah manusia hanya seorang balita. Tuntutan
akan menjadi kesenangan jika prosesnya adalah tantangan yang dimenangkan,
artinya kesenangan tidak dilakukan setiap saat. Dalam hal ini bukan hanya
mencari nilai dalam bentuk angka ataupun huruf saja, tapi juga pembentukan
karakter diri.” Renungku sekaligus memotivasi diri agar mampu mengalahkan
kemauan raga malam ini yang kian larut.
“Seno G. A memang luar
biasa pada novel itu, ia mampu menuangkan ide fantastis dengan mengadopsi bukti
otentik sejarah Nusantara, khususnya sejarah peradaban Syailendra atau pada
masa Mataram Hindu sekitar tahun 674 Masehi. Balutan kisah asmara, politik
kenegaraan, kritik kultur-sosial hingga perang tanding kedigdayaan silat semuanya
terintegrasi secara kompleks melalui kisah pengembaraan Pendekar Tanpa Nama setelah samadhi
selama lima puluh tahun, dan juga prestasinya dalam tragedi Pembantaian Seratus Pendekar melalui Jurus Tanpa Bentuk yang luar biasa itu. Beliau juga berani dalam menyuguhkan
setting tempat dan waktu pada Nagabumi I, selama ini hal stereotip yang
terdengar ialah wangsa Gajah Mada ataupun Hayam Wuruk dengan kontroversialnya
Perang Bubat, Amukti Palapa atau bahkan Brawijaya dengan Sabdo Palonnya.”
Pujiku sekaligus memompa semangat.
Kuberdiri dari tempat
duduk, beranjak dari lamunan lalu menekan tombol power pada komputer yag terletak di sebelah tempat tidurku. “Akan dimulai
darimana tulisan ini?” batinku, kucoba berkelana ke database dalam otak, melakukan flashback
tentang kejadian dari mimpi semalam. Peta konsep kudesain dengan mengintregasikan
fenomena sosial dari novel tersebut serta apapun yang didapat dari mimpi
semalam dengan pola yang konstruktifistik. “Ya, setidaknya ini akan mempermudah
kinerja dan ini harus korelatif, puji Tuhan! gambaran sudah mulai gamblang.”
Pikirku. Kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf hingga akhirnya proses finishing.
***
“Ah tidak papalah, menurutku wilayah
sintakmatik itu gampang direvisi, yang penting unsur plotnya secara eksplisit
sudah jelas. Masalah readibility biar
pembaca yang menilai, hahaha.” Ujarku.
“Lho, tapi mana judulnya bro?”
“Oalah Gusti Pangeran, sumpah aku
konyol banget! Gara-gara kamu dateng tiba-tiba, terus enggak ketok pintu. Jadi
bubar kabeh, hahaha. Maklumlah, baru pertama kali mbuat cerpen iki”
“Aseemm koe! Oh aku reti.. Judulnya
tugas membawa hikmah bro!”
“Ahahahahahaa lucu, kayak judul
sinetron”
“Lha terus? Oh.. perseturuan tuan
amanat dan setting”
“Ya, mungkin bisa, tapi kok
perseturuan? Memangnya mereka berantem? Gimana kalau seruan?’
“Apa? Saruan?”
“SERUAN bego!! seruan tuan amanat
dan setting!”
“Wah keren! Sepakat!”
“Sepakat! Eh apa tadi?”
“Lha katamu seruan tuan amanat
dan setting! Dapon!!”
“Buang kata Tuan! ganti dengan
kata Si, gek ndang ditulis!”
“Oh ya,,, eh sial! Harusnya kamu
yang nulis”
“hahahaha,, ahh leganya” batinku.
Finish”
Ah, akhirnya saat ini
dapat kujawab kerinduan raga terhadap sahabat karibnya yang empuk di ujung
timur kamarku, pikiranpun dengan liarnya bercinta pada senyum sumringah kesenangan.
Tantangan sudah dimenangkan! Melalui samadhi, tragedi pembantaian seratus pendekar
sudah kutamatkan. Sesaat kutoleh temanku yang kurasakan dari tadi hanya diam,
astaga! Dimana temanku? Dimana mahluk hidup seisi rumah? Tiba-tiba semua makin berubah,
cakrawala dan arcapada bergetar hebat. Mega-mega menjadi merah jingga,
armagedon yang terbentang serentak menciut seolah tersedot oleh black hole raksasa di atas semuanya.
Sontak saja darahku seperti menjadi dingin, terhenti bahkan kurasakan nyawaku seolah
sudah berlarian entah kemana. Kini aku berdiri kaku di atas kegelapan, arah
mata angin tak lagi dapat kuterka, atas dan bawah seolah sama, aku hanya dapat
menyaksikan jagat raya yang susut hingga habis tak tersisa. Spontan seseorang
menepuk pundakku dari belakang.
“Apa kabar anak muda?”
Selesai Menara Hitam