Home » » Seruan Si Amanat & Seting (Cerpen) - Menara Hitam

Seruan Si Amanat & Seting (Cerpen) - Menara Hitam

Written By sanggarsejarah on Senin, 01 Juli 2013 | 01.52



SERUAN SI AMANAT DAN SETTING




Cakrawala terasa aneh kali ini, terbentang luas di atas pohon-pohon besar serta bangunan-bangunan berbata merah. Di hadapan tempatku berdiri terdapat sebuah jalan tanah yang lebar, pada ujungnya kudapati pasar tradisional dengan ratusan orang melakukan transaksi beserta suasana dan pakaian yang aneh pula. Jauh kupandang ke arah kiri terdapat bangunan megah dihiasi elemen emas, segalanya terangkai indah sekali. Tanah lapang berada di depan bangunan besar dan cantik itu, luasnya sampai pada jalan tempat dimana kini aku berpijak. Aneh dan kagum bercampur bingung menjadi perasaan yang tidak biasa aku alami, namun sepertinya semua ini pernah kulihat sebelumnya. Sejenak kuputar tubuh untuk melihat alam sekitar agar pandanganku lebih luas, sekaligus mencari jawab atas rasa penasaranku, “astaga!”

“Apa kabar anak muda?”

Saat kuberpaling perlahan tampak orang tua yang entah darimana datangnya persis di belakangku, hampir saja aku mengambil langkah seribu, bahkan kaki ini sempat mundur bebarapa langkah. Orang itu mengenakan cakil sampai hampir menutupi seluruh kepalanya, namun masih sedikit terlihat wajah orang itu teramat tua dan seram. Secara fisik ia berperawakan kurus, bertelanjang dada dengan celana hitam panjang dan selebihnya aku tak tahu karena mata sudah kualihkan pada dua orang perempuan yang mungkin datang bersama kakek itu. 

Dua orang perempuan itu cantik parasnya, berpakaian sutera dengan selendang tipis terikat di pinggangya, hanya saja style mereka tetap saja kuanggap aneh apalagi bapak tua yang bertampang kurang sedap itu. 

“Siapa anda? Tempat apa ini? Dimana sutradaranya dan para krunya? Nampaknya perkembangan film kolosal di Indonesia akan mengalami perubahan besar ya? Wah luar biasa hebat dekorasi setting tempat yang kalian gunakan. Selamat.. selamat!! 

“Hahaha, dengar anak muda, aku lebih baik memilih iblis tapi menyembah Tuhan Allah, setidaknya iblis konsekuen terhadap apa yang harus mereka lakukan, mempunyai ketegasan dan keberanian berbuat, landasan pikir yang kokoh, daripada menjunjung tinggi Agama yang sudah dipoles politik munafik itu, menjunjung tinggi liberalisme atau kapitalisme, atau apalah itu. Orang-orang yang kalian sebut tikus itu, kultur-sosial itu, strategi jahat yang seenaknya mereka beri nama kedamaian itu. Sebenarnya kami ingin membuktikan, apakah orang-orang pada zaman yang katanya lebih matang daripada kami lebih memilih Tuhan ataukah harta? Sayangnya kami tak punya kuasa untuk hal tersebut dan tampaknya ini retoris! Hahahahaha”

            Semakin tak karuan saja rasa bingung menggerayangi pikiran, apa maksud orang ini? Nampaknya guru orang ini ketika bersekolah gagal dalam mengajarkan cara menjawab kalimat tanya ataupun kesantunan berbahasa. “Hmm ini sudah biasa diulas”, batinku. Belum sempat aku menanggapi perkataan orang tua itu, tiba-tiba salah satu wanita yang dari tadi hanya tertawa kecil seolah merespon raut wajah kebingunganku itu menyahut.

“Kamu terlalu cepat tuan amanat! Tapi aku setuju perkataanmu, hakekatnya malaikat dan iblis itu bekerjasama, membuat manusia menjadi dewasa dan matang, hahaha sudahlah bagian itu bukan urusanku!”

“Hai anak muda, perkenalkan namaku adalah tempat dan ini adalah saudariku yang bernama waktu. Kabarnya ragaku di masamu sudah tidak karuan. Sudah tidak lagi hijau, dihitam legamkan oleh manusia-manusia yang mengkambing hitamkan kesejahteraan universal tapi hanya untuk memperkaya dirinya pribadi atau kaum tertentu. Kabarnya wajahku di masamu sudah penuh dempul, kalian pikir itu akan membuatku cantik? Hah!” Lanjut wanita itu yang nada bicaranya makin meninggi.

Raut wajah wanita itu kusadari tidak lagi bersahabat. Dari perkataan wanita itu aku semakin bertanya-tanya, apa maksud daripada “ragaku”? Apa maksud dari “masamu”? batinku. 

“Haha, aku geli melihat isu kiamat kalian itu” timpal wanita satunya. “Sesuka jidat saja bermain-main dengan umurku! Kenapa? kalian takut mati? Toh juga mati bersama-sama, ooo.. atau mungkin kalian tidak yakin amal yang kalian kumpulkan itu lebih besar dari dosa yang kalian perbuat? Oh ya, bagaimana kuliahmu? Waspadai nafasmu di rumah intelektual itu, nampaknya sudah semakin tipis, haha” 

“Wey mbak! Mas! Anda sekalian salah orang, aku bukan salah satu aktor dalam pembuatan film kalian ini. Mohon maaf sekali, nampaknya panitia kalian kurang berkoordinasi. Kalau ingin latihan menghayati dialog, pendapatku itu sudah cukup baik kok!” tapi.... 

Belum lagi aku menyelesaikan perkataanku orang tua tadi berseru.

“Sesungguhnya hidup itu anugerah yang luar biasa, kematian itu hanya sebuah jembatan namun bukan berarti harus menyepelekan nyawa.” Melihat tingkah kalian itu.. ah sudahlah! Aku sudah terbiasa dengan luka, setidaknya air mata adalah sahabat yang selalu mengerti. 

Seperti orang bodoh yang tak tahu harus berbuat apa kugaruk-garuk kepalaku, kutundukkan dan  kukernyitkan keningku. “Wah ini lebih baik pergi saja, masa bodoh dengan apa yang mereka lakukan ini” batinku. Dengan tampang seperti tidak terjadi masalah aku pun beranjak dari tempatku, bergegas dari kumpulan orang-orang itu. 

“Anak mudaaa! Ingat tinggal tiga hari lagi... tiga hari lagi..hahaha” 

“Ah, bodo amat! Dasar orang gila!”batinku

Seruan ketiga orang itu diulanginya beberapa kali hingga kakiku berjarak beberapa puluh langkah dari mereka. Aku kembali teringat, darimana aku datang? Kemana aku harus pergi? Dimana ini? Kuhentikan langkahku sembari menoleh ke belakang. Astaga! dimana mereka dan semua orang yang berlalu lalang dibelakangku? Kuputar badanku untuk melihat alam sekitar, bahkan semua orang yang sedang bertransaski di pasar menghilang! Belum habis badan bergidik ngeri tiba-tiba semua makin berubah, cakrawala dan arcapada bergetar hebat. Mega-mega menjadi merah jingga, armagedon yang terbentang serentak menciut seolah tersedot oleh black hole raksasa di atas semuanya. Sontak saja darahku seperti menjadi dingin, terhenti bahkan kurasakan nyawaku seolah sudah berlarian entah kemana. Kini aku berdiri kaku di atas kegelapan, arah mata angin tak lagi dapat kuterka, atas dan bawah seolah sama, aku hanya dapat menyaksikan jagat raya yang susut hingga habis tak tersisa.
                                                                   ***

Sreeeeeett..
“Gimana kesimpulanya tadi bro?” kubuka percakapan siang itu di dalam toilet fakultas sambil membuka sleting celana jeansku. 

“Tekniknya mesti dielaborasi lagi ini, penjabaran instrumenya juga harus direvisi, terus bahan rujukan di kajian teori katanya kurang. Gimana tugas transformasi novelmu? Aaaaahhh lega, setengah jam kok kayak hampir setahun nahan ini, hahaha.”

“Iya bro, hawanya dingin banget, sial banget lah tadi di kantin. Nanti tak lapor pengurus fakultas deh, hahaha. Kantin mesti difasilitasi toilet, kalo hujan kayak gini kan repot bro.” kututup kembali sleting celana jeansku sambil menuju kaca yang terawat apik di sisi selatan toilet pria tersebut.

“Aku galau nih, tadinya mau ngadopsi karakter tokoh novel Nagabumi I kedalam cerpenku tapi kayaknya ga jadi. Aku jadi pengen ngadopsi setting tempat dan waktu dari novel itu, sekalian amanat keseluruhanya, bukan cuma dari sudut si tokoh utamanya aja bro. Tapi ya tetep transformasinya ke dalam bentuk cerpen” sambungku sembari membasuh tangan dan membenahi rambut di hadapan cermin.

“Wuih, bahasamu! Koe ki jan ra tegas kok, lha kemaren katanya mau ngadopsi watak tokohnya? Haha.. Mentang-mentang tempo hari dapet tanda tangan si Seno Gumira di novel Nagabumi I dan II mu, terus tugas-tugasmu dikaitke kabeh karo karya-karyane Seno gitu? Subjektif banget koe seiki, haha”

“Ahaha, asem koe! Memang kayaknya berat sih ini pilihan karya tulis yang tak pilih, tapi kan kebetulan aku hampir selesai baca novel itu bro, ya jadi sekalian aja. Dari kemarin sore sampai malam tak habisin itu novel, sampe kebawa mimpi. Hahaha.”

Ya, memang tugas ini sudah hampir membuatku gila, kini waktu sudah hampir tengah malam dan aku masih berada pada dimensi yang masih membosankan. Akan bagaiman arah tulisan yang akan aku buat kini? Imajinasi dari novel karya Seno Gumira Ajidharma itu sudah sesak bak kerumunan prajurit yang mengalungkan pedang-pedang tajam di leherku bersama tuntutan tugas tersebut. Ragapun sudah rindu pada kasur di ujung timur kamarku yang sedang kutatap, namun durasi tiga hari kedepan sampai aku mempresentasikan tugas ini membuat pikiran enggan menyetujui kemauan raga. Kualihkan pandangan kepada novel Nagabumi I yang tergeletak di meja komputerku dari depan teve ruang tengah kontrakanku ini.

“Inilah yang membuat kami dewasa. Setidaknya tugas kuliah yang datang secara periodik menjadikan kematangan dalam berfikir, sepertinya mempersepsi hal tersebut sebagai tuntutan lebih bijaksana daripada menjadikanya sebagai kesenangan. Tuntutan merupakan bagian dari masalah, tanpa terpaan masalah-masalah manusia hanya seorang balita. Tuntutan akan menjadi kesenangan jika prosesnya adalah tantangan yang dimenangkan, artinya kesenangan tidak dilakukan setiap saat. Dalam hal ini bukan hanya mencari nilai dalam bentuk angka ataupun huruf saja, tapi juga pembentukan karakter diri.” Renungku sekaligus memotivasi diri agar mampu mengalahkan kemauan raga malam ini yang kian larut. 

“Seno G. A memang luar biasa pada novel itu, ia mampu menuangkan ide fantastis dengan mengadopsi bukti otentik sejarah Nusantara, khususnya sejarah peradaban Syailendra atau pada masa Mataram Hindu sekitar tahun 674 Masehi. Balutan kisah asmara, politik kenegaraan, kritik kultur-sosial hingga perang tanding kedigdayaan silat semuanya terintegrasi secara kompleks melalui kisah pengembaraan Pendekar Tanpa Nama setelah samadhi selama lima puluh tahun, dan juga prestasinya dalam tragedi Pembantaian Seratus Pendekar melalui Jurus Tanpa Bentuk yang luar biasa itu. Beliau juga berani dalam menyuguhkan setting tempat dan waktu pada Nagabumi I, selama ini hal stereotip yang terdengar ialah wangsa Gajah Mada ataupun Hayam Wuruk dengan kontroversialnya Perang Bubat, Amukti Palapa atau bahkan Brawijaya dengan Sabdo Palonnya.” Pujiku sekaligus memompa semangat.

Kuberdiri dari tempat duduk, beranjak dari lamunan lalu menekan tombol power pada komputer yag terletak di sebelah tempat tidurku. “Akan dimulai darimana tulisan ini?” batinku, kucoba berkelana ke database dalam otak, melakukan flashback tentang kejadian dari mimpi semalam. Peta konsep kudesain dengan mengintregasikan fenomena sosial dari novel tersebut serta apapun yang didapat dari mimpi semalam dengan pola yang konstruktifistik. “Ya, setidaknya ini akan mempermudah kinerja dan ini harus korelatif, puji Tuhan! gambaran sudah mulai gamblang.” Pikirku. Kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf hingga akhirnya proses finishing.
                             ***

“Ah tidak papalah, menurutku wilayah sintakmatik itu gampang direvisi, yang penting unsur plotnya secara eksplisit sudah jelas. Masalah readibility biar pembaca yang menilai, hahaha.” Ujarku.

“Lho, tapi mana judulnya bro?”

“Oalah Gusti Pangeran, sumpah aku konyol banget! Gara-gara kamu dateng tiba-tiba, terus enggak ketok pintu. Jadi bubar kabeh, hahaha. Maklumlah, baru pertama kali mbuat cerpen iki”

“Aseemm koe! Oh aku reti.. Judulnya tugas membawa hikmah bro!”

“Ahahahahahaa lucu, kayak judul sinetron”

“Lha terus? Oh.. perseturuan tuan amanat dan setting”

“Ya, mungkin bisa, tapi kok perseturuan? Memangnya mereka berantem? Gimana kalau seruan?’

“Apa? Saruan?”
 
“SERUAN bego!! seruan tuan amanat dan setting!”

“Wah keren! Sepakat!”

“Sepakat! Eh apa tadi?”

“Lha katamu seruan tuan amanat dan setting! Dapon!!”

“Buang kata Tuan! ganti dengan kata Si, gek ndang ditulis!”

“Oh ya,,, eh sial! Harusnya kamu yang nulis”

“hahahaha,, ahh leganya” batinku. Finish

Ah, akhirnya saat ini dapat kujawab kerinduan raga terhadap sahabat karibnya yang empuk di ujung timur kamarku, pikiranpun dengan liarnya bercinta pada senyum sumringah kesenangan. Tantangan sudah dimenangkan! Melalui samadhi, tragedi pembantaian seratus pendekar sudah kutamatkan. Sesaat kutoleh temanku yang kurasakan dari tadi hanya diam, astaga! Dimana temanku? Dimana mahluk hidup seisi rumah? Tiba-tiba semua makin berubah, cakrawala dan arcapada bergetar hebat. Mega-mega menjadi merah jingga, armagedon yang terbentang serentak menciut seolah tersedot oleh black hole raksasa di atas semuanya. Sontak saja darahku seperti menjadi dingin, terhenti bahkan kurasakan nyawaku seolah sudah berlarian entah kemana. Kini aku berdiri kaku di atas kegelapan, arah mata angin tak lagi dapat kuterka, atas dan bawah seolah sama, aku hanya dapat menyaksikan jagat raya yang susut hingga habis tak tersisa. Spontan seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Apa kabar anak muda?”
Selesai                                                           Menara Hitam
Share this article :

Follow this Blog



 
Support : Daniar Murdi(kotoran om dan)
Copyright © 2013. Menara Hitam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Menara Hitam
Proudly powered by Blogger