Lukisan Ombak D.
Kemalawati
oleh:
“
Engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan “
Haru ketika kita semua mengingat tragedi gelombang tsunami yang menyapu pantai barat Aceh pada
tahun 2004. Nusantara berkabung pada saat itu,
memori kelam berlatar belakang kematian masal membuat mata dunia terpusat
hingga terapresiasi dalam bentuk ribuan bela
sungkawa. Dunia berusaha berpartisipasi dengan
menyumbangkan barang dan jasa diantaranya
dalam bentuk; pangan, pakaian, tenda maupun tenaga.
Beberapa sastrawan juga turut mencurahkan kepiluan
tersebut melalui dunianya. Salah satunya adalah D. Kemalawati, beliau adalah
penulis puisi kelahiran 1965 dari kota Meulaboh yang porak
poranda oleh tsunami 2004. Berikut adalah beberapa kesan
kesedihan dari kumpulan puisi
"Sajak Untuk Pelukis Ombaku" dari kumpulan sajaknya yang berjudul “Surat Negeri Tak Bertuan” , pertama
dari tiga puisi yang diciptakan beliau saat tragedi tsunami aceh.
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja.
Dalam penggalan bait di
atas, D. Kemalawati
mengungkapkan keluh
kesahnya pada laut yang tiba-tiba saja tidak bersahabat. “ia telah murka…menerkam apa
saja” merupakan sebutan personifikatif untuk tsunami. Pada baris ini juga beliau menggugah persepsi dan tafsir pembaca untuk tertuju pada
dahsyatnya gelombang tsunami yang “murka”
dan “menerkam apa saja” tanpa pandang bulu.
Kesan pada puisi-puisi ini pada bagian tertentu menyiratkan kengerian, seperti “menerkam apa saja” yang tak
pernah diperkirakan oleh manusia. Tidak peduli “apakah pagi itu engkau masih
membedaki/punggung suamimu/yang lelah berbaring seharian/ memandikan
sikecilmu/sambil mencandai keningnya yang lucu/atau sedang menyisir rambut
keriting gadismu yang ayu”.
Curahan yang sangat dalam mengenai pemikiran dan perenungan D
Kemalawati dapat kita resapi melalui bait 3 dan 4 seperti kutipan ini, pada
baris ini juga beliau mengungkapkan kesedihan atas hilangnya orang yang disayangi (yang hilang tersapu tsunami):
apakah arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong
hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan
Perasaan miris, tragis, sedih dan penuh tanda tanya bercampur aduk dalam lambang, kias ataupun
gaya bahasa yang menyeret perasaan dan batin pembacanya, disini seolah-olah pembaca dapat merasakan langsung
tragedi tsunami yang menelan banyak korban bergelimpangan di tanah Aceh,
dibungkus plastik hitam, lalu dikuburkan secara massal tanpa batu nisan.
Dalam sajak gubahan D
Kemalawati penuh dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, etis, dan
estetis. Kita nikmati bait 5 berikut ini:
kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kaulukiskan ombak itu
Pertanyaan filosofis, etis
dan disajikan secara estetis ini terbedah sebuah realitas bahwa aku pada bait tersebut merasa hampa. Perasaan hampa itu lalu
menyeret langkah kakinya untuk menemukan rumah yang pada dindingnya bergantung
aneka lukisan ombak. Pembaca oleh D Kemalawati diseret ke sebuah gambaran
kehampaan lantaran “pelukis ombak” yang dicarinya itu tiada diketemukan
jejaknya, hilang digulung ombak tsunami. Dalam situasi serupa itu lalu muncul
sebuah kesadaran yang dituangkan dalam bait terakhir sajaknya, seperti ini:
aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu
Kesan pada “Sajak Untuk Pelukis Ombaku" dalam
kumpulan
sajak “Surat Negeri Tak Bertuan” yang substansinya merupakan tragedi tsunami
Aceh pada tahun 2004, adalah gugahan
untuk semakin saling mengasihi antar manusia. Di luar konteks tsunami Aceh
tersebut, bagaimana jika kita kehilangan (secara tragis) mereka yang pernah
menjadi rekan seperjuangan, entah kita pernah mengasihinya ataupun membencinya
bahkan menjadi musuh. Karena hikmahnya musuh jualah yang secara tidak langsung
menjadikan kita manusia dewasa, adalah manusia yang sama-sama berpijak pada
perjuangan menuju akherat. Bagaimana jika kita kehilangan sanak saudara secara
tragis, yang mungkin pernah berbeda ideologi dalam hal apapun atau mungkin
pernah kita cela. Karena pada dasarnya agama manapun tidak mengajarkan sifat
benci, khususnya Indonesia yang mayoritas merupakan agama Samawi (Abrahamik).