Samadhi Seno G.A Dalam Nagabumi I (Review Novel)
Novel Nagabumi I
merupakan mahakarya kolosal dari Seno Gumira Ajidarma dengan serial pertama “Jurus Tanpa Bentuk”, cetakan pertama yakni
bulan November 2009. Adapun tokoh utama Nagabumi I merupakan petualang tangguh yang
dapat meraih prestasi besarnya yakni “Pembantaian
seratus pendekar” oleh Pendekar Tanpa Nama. Novel ini menurut saya sangat
hebat! dimana Seno menuangkan ide fantastis mengintregasikan bukti otentik sejarah
Nusantara, khususnya sejarah peradaban Syailendra (Mataram Hindu - 674 M) dengan kisah pengembaraan tokoh utama
yang tersaji dalam kisah fiksi.
Tidak
jarang kita temui kosakata sansekerta pada novel yang diterbitkan oleh Gramedia
ini. Sudut pandang dari novel Nagabumi adalah keakuan, sudut pandang orang
pertama, dimana sang aktor inti mempunyai perjalanan hidup dalam penyamaran,
hidup dalam topeng! Mengapa dalam topeng? Setelah “pembantaian seratus pendekar” dan samadhi selama lima puluh tahun, tokoh utama menghabiskan masa
tuanya dalam penyamaran karena perburuan oleh berbagai pihak kepadanya. Pencarian
padanya dinisbatkan karena dendam dan kenaikan status sebagai pendekar terhebat
setelah bisa mengalahkannya.
Era Syailendra dalam Nagabumi I
merupakan setting waktu yang tepat jika diesensikan sebagai penguatan kita akan
sejarah. Selama ini hal stereotip yang terdengar ialah wangsa Gajah Mada -
Hayam Wuruk dengan kontroversialnya Perang Bubat, Amukti Palapa atau bahkan
Brawijaya dengan Sabdo Palonnya. Kenyataan saat ini, novel-novel kolosal di
Nusantara umumnya hanya mengungkapakan sejarah secara superfisial saja, namun
disini Seno cukup bijak dalam menganekaragamkan setting tempat diantara novel-
novel kolosal di bumi pertiwi. Seno melalui Pendekar Tanpa Nama mencoba
mengupas tuntas fenomena Hindu-Buddha pada masa Mataram kuno. Penyajian cerita
dalam novel ini menurut saya hampir mirip dengan “Perang” karya Putu Wijaya,
jika Putu Wijaya membuat daya tarik cerita dengan membalut kisah Mahabarata
dengan jenakanya, namun Seno dalam Nagabumi membedah sejarah melalui kisah
pengembaraan Pendekar Tanpa Nama. Hanya saja jika kita tidak mengetahui sejarah
tersebut tentu agak sulit memahaminya.
Hal yang cukup fenomenal dari Nagabumi dalam
mengangkat Syailendra adalah tentang ideologi semacam “Kerja Rodi” pada pembangunan Borobudur oleh orang-orang
kerajaan terhadap masyarakat biasa. Hal yang selama ini kita tahu adalah
Borobudur dibangun atas semangat keagamaan masyarakat Jawa ketika itu. Menurut
saya penulis mengarahkan mindset pembaca untuk mempertanyakan hal itu, apakah
hal tersebut hanya fiksi atau didasarkan pada bukti otentik sejarah? Atau
mungkin Seno ingin menegaskan jika ketimpangan sosial tidak hanya terjadi pada
era modern saja. Sesuatu yang menarik dalam fiksi ilmiah adalah kita harus
mampu membedakan antara fiksi dan hasil analisa sejarahwan. Salah satu hal
menarik yang dituangkan oleh Seno adalah adanya perdagangan segala macam daging
termasuk daging sapi yang ditemui oleh pengembaraan tokoh utama. Dalam hal
tersebut nalar akan kembali tertantang, karena sapi adalah hewan yang disucikan
oleh masyarakat Hindu. Apakah itu merupakan kritik sosial Seno terhadap
perlunya saling menghormati antar agama saat ini?
Novel
Nagabumi juga memaparkan permasalahan kenegaraan dengan balutan kisah asmara
hingga ideologi-ideologi yang berkembang pada saat itu, maka menurut saya novel
dengan ketebalan 815 halaman ini
memiliki kisah tentang problematika manusia yang kompleks. Kesan lainya
dari Nagabumi adalah bahwa “aku” dalam novel ini tidak pernah berhenti belajar,
Pendekar Tanpa Nama terus menerus menjejali pengetahuanya tentang hal-hal yang
baru meski umurnya sudah mencapai seratus tahun. Semangat berpikir inilah yang
juga disampaikan Seno untuk pembaca, semoga konsep pikir ini dapat
diimplementasikan kelak dikemudian hari.