Home » » Sebuah Cerita Kematian ( cerpen )

Sebuah Cerita Kematian ( cerpen )

Written By sanggarsejarah on Rabu, 03 Juli 2013 | 18.40


Sebuah Cerita Kematian
By: Menara Hitam


Hari-hari menjelang kematian - bernyanyi dengan malam
Pagi sudah mengubah gelap perlahan menjadi jingga hingga terang seutuhnya, hari ini di ufuk barat purnama masih menampakkan warna kuning yang kian memudar. Kuperhatikan dari balkon segerombolan ayam dan burung-burung gereja berebut nasi basi yang disebar tetangga sebelah di pekaranganya. Sejenak pandanganku tertuju pada gadis-gadis yang melakukan joging di jalan aspal depan rumah, kunikmati segelas kopi dan segala keceriaan mereka.
“Pemandangan pagi ini makin cantik saja, hahaha”. Batinku sembari memandangi lebih dalam para gadis-gadis itu, tapi seperti biasa, ingatanku pasti terseret perkataan pamanku dulu.
“Aku lihat kegagalanmu pada gadis-gadis itu, tapi paras gadis itu tidak pernah gagal dalam mencuri hatimu. Bukankah begitu? Maka lakukanlah sebaliknya. Menurutmu apa yang para gadis itu sukai dari seseorang lelaki? Harta? Lupakanlah gadis-gadis seperti itu”
Aku tersenyum mengingat perkataan itu sembari kembali menikmati kopi yang berada di tanganku.
“Seseorang tidak akan menjadi ahli pedang tanpa pernah menumpahkan darah lawanya. Seseorang tidak akan matang dan dewasa tanpa pernah mengalami perang-perang dalam batinnya. Keahlian dari proses itulah yang disebut hasil, dan akan membuat kamu sakti dalam memecahkan setiap persoalan dalam hidup. Kalau ingin instant, gampang saja aku memasukkanmu secara subjektif di perusahaanku. Maka besar kemungkinan pamanmu ini hanya akan melihat anjloknya kualitas perusahaan yang kakekmu bangun dari nol itu. Kamu paham maksudku?”
“Aaahhhh! Aku benci bagian itu” Gumamku.
            Tapi setidaknya ingatan akan kata-kata pamanku tersebut membuat aku kembali bersemangat dalam bekerja. Kuhabiskan kopi seraya melangkahkan kaki kedalam untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. “ah, belum lagi siang ini aku harus menemui narasumber di sebuah rumah tahanan untuk penulisan featurku.” Gumamku.
Siang hari di sebuah sel tahanan.
 “Aku lihat orang tua dan anak-anak kurus tanpa baju di pinggir jalan, bawah jembatan, sampai pada gubuk-gubuk kumuh di sana”
 “Tapi aku juga lihat para orang-orang di kantor mewah itu, tangan mereka seolah menegakkan jari tengahnya kepadaku lewat jendela kaca, tawa mereka seperti sinis sembari meludahi jidatku. Ya, kurasa uang buta itu lebih dari cukup untuk membangun panti asuhan, tempat tinggal yang lebih terhormat daripada kolong jembatan ataupun gubuk tua yang hampir roboh itu.”
 “Kau tau mengapa aku sudah menyabet kedua tangan mereka? Tangisku ini sudah membuatku buta, bujuk rayu dari air mataku seolah isyarat kepedihan orang tua dan anak-anak kecil itu. Sesungguhnya saat ini pikiranku sesak dengan darah dari tangan yang mengucur pada malam itu, sesak oleh suara jerit dari sebuah tebasan. Jika pada hari penghakiman kelak neraka meminta jiwaku, maka biarlah! Biar saja para penjagal neraka bertindak sesukanya. Setidaknya pedang yang kugunakan tidak lebih tajam dari lidah kemunafikan orang-orang itu, tidak lebih ringan dari tangan-tangan mereka dalam memboyong uang rakyat”.
 Gila, perkataan orang ini benar-benar membuatku merinding, namun topik yang ia utarakan membuatku tertarik.
“Tapi bagaimana dengan mereka yang juga menjadi penjambret, perampok atau kejahatan-kejahatan lainya” ujarku.
“ Cobalah telusuri dengan bijak! siapa yang membuat mereka seperti itu? Andai saja uang gelap dari tikus-tikus di sana diloyalkan sebagai sarana pendidikan murah, atau andai saja uang tersebut dapat menjadikan anak-anak itu sakti secara moril, agama, dan intelektual.
“Oh, lalu bagaimana tanggapan anda tentang..”
“Sebenarnya aku sudah muak dengan semua ini! Rasanya aku ingin menghabisi bibit-bibit seperti tikus-tikus itu.” Potongnya dengan nada yang makin meninggi.
            Kulihat jam tanganku, nampaknya satu jam bersama napi itu cukup untuk mentransformasikan wawancara ini ke dalam bentuk artikel. Kuucapkan salam undur diri sembari mengemasi alat recorderku.
“Ya, aku tau keputusan sidang kelak mengharuskan aku mati, do’akanlah aku. Mungkin sel tahanan ini tempat singgahku terakhir sebelum aku dieksekusi, tapi tempat ini jauh lebih baik daripada rumah mereka yang didapat dari merampok uang rakyat. Hahahaha”
 “Sial, aku bergidik melihat seorang psikopat bernada seperti itu di hadapanku. Bagaimana bisa dia terlalu tenang dalam menghadapi kematianya tersebut?” Gumamku sambil mulai beranjak dari hadapan orang itu.
Kulangkahkan kaki pergi dari rumah tahanan, menstarter mobil Honda Civic ku. Setidaknya hal yang kudapat dari tahanan tadi cukup untuk memenuhi tuntutan si ketua redaksi baru itu, bahkan aku belum hafal namanya, belum lagi bahan ini disuruhnya kuolah malam ini juga. Tapi pikiranku masih saja berada di tempat itu, kuteringat informasi tentang bagaimana tahanan tersebut terjerumus dalam undang-undang penganiyaan dan pembunuhan.
 “Orang itu benar-benar gila.”Batinku sembari menyetir
“Menjudgment korbanya demi orang lain yang belum tentu akan berterima kasih padanya, bahkan mengingatnya pun belum tentu. Pemotongan bagian tubuh dari ketiga “orang besar” itu kabarnya ia lakukan dengan tenang sekali seperti orang yang biasa membunuh. Dari ketiga korbanya hanya satu yang selamat, kedua lainya mengalami pendarahan hebat sebelum sampai di rumah sakit. Sesuatu yang aneh adalah ketika penangkapanya, ia sama sekali tak melakukan perlawanan sedikitpun dalam gubuk reotnya.”

“Sejauh ini, asal-usul orang itu tidak ada yang tahu bahkan data-datanya tidak terlampir di manapun, seolah tiba-tiba hadir di dunia ini begitu saja. Aku hanya dapat mengingat orang itu berperawakan sedang, dari wajahnya nampaknya berumur sekitar tiga puluhan tahun dengan sedikit kumis di atas bibirnya, berpakaian kaos hitam oblong serta bercelana jeans panjang yang sobek pada lutut kirinya. Hal paling mencolok dari orang itu ialah rambutnya yang setengah ikal terurai menyentuh bahu. Anehnya lagi, setiap orang yang datang ke sel tahanan itu hanya akan memperoleh jawaban yang sama denganku. Ah sudahlah, aku sudah larut dengan kegiatan seharian ini, aku rindu pada sofa baru yang kubeli kemarin.”
***
Sore itu sepoi angin menerobos ventilasi ruang tengah rumahku, menelusuri sudut-sudut ruangan hingga akhirnya berhasil menemukanku duduk sembari menikmti orange juice yang kubuat barusan. Tentu saja ia merayu tubuh yang gerah ini untuk segera tenggelam pada sofa baru yang empuk itu. Ketika kujawab rayuan tersebut, aku teringat akan sebuah gulungan kertas berikat benang merah yang diberikan oleh tahanan itu tadi siang. Ia meminta agar di buka saat waktuku senggang, perlahan kubaca dengan seksama.

 “Sendiri  kucari jalan menuju kebahagiaan
meski suara burung malam mencecah sunyi
keluh kesah jiwa mempertanyakan keberanian seorang lelaki
memang terkadang awan tipis menyelimuti purnama
seolah mengintip di antara kering ranting kamboja
aku hanya akan semakin larut dalam gelap
jika cahaya rembulan tidak memantul dari segerombolan nisan di sela semak rerumputan

“Sebuah sajak? Kenapa ia memberikanya padaku? Apakah orang lain yang mencari informasi darinya juga diberikanya? Adakah kiatanya denga apa yang dia ucapkan tadi siang” batinku.
“Menurutmu apa maksudnya?”
“Aku nggak tahu pasti mas, agaknya orang itu menginginkan kamu mengetahui sesuatu atau mungkin ini cuma sekedar cinderamata saja.” Jawab Roy sembari mengangkat gelas berisi kopi yang kuhidangkan untuknya, tapi kulihat ketertarikanya akan sajak itu.
“Aku harus ngerti ini, setidaknya akan menjadi feature yang bagus. Ketua redaksi baru kita emang payah, terlalu perfeksionis. Itulah sebabnya kutelpon kamu tadi supaya datang ke sini, ini harus selesai sebelum besok pagi Roy”.
“Dari sajak ini, aku mengira yang bersangkutan memang ingin membunuh mas”. Kembali ia menyampaikan hasil analisanya, kulihat matanya makin dalam ke arah sajak yang dipegangnya itu
Ada yang menarik di sini. Analogikanya gini mas, purnama akan terasa indah jika kita melihatnya bersama pacar kita ditempat yang romantis, tapi tidak jika kita melihatnya di antara ranting kamboja atau di sela-sela batu nisan. Jadi tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Begitulah kira-kira tafsirku pada baris lima dan enam. Mungkin juga dapat ditafsirkan sebuah kematian yang selalu mengintai di sela nisan ataupun di antara ranting kamboja”. Jadi...”
“Oh, aku paham, kematian juga tidak selamanya buruk? Tergantung diri kita sendiri menilainya. Bukankah begitu?” Timpalku memutus penjelasan darinya
“Hmmm.. Sendiri kucari jalan menuju kebahagiaan, ini aku nggak tahu pasti. Tapi menurutku, meskipun manusia hakekatnya ialah mahluk sosial, tapi dalam menginterpretasi kebahagiaan itu secara individual berbeda-beda mas.
“Meski suara burung malam memecah sunyi” apa maksudnya itu? Ujarku
“Seperti kataku tadi mas, ini adalah kalimat ketakutan yang ditulis oleh si penulis, mungkin seperti itu. Tapi kalau yang ini aku paham, aku hanya akan semakin larut dalam gelap, berarti ia semakin masuk ke dalam interpretasi tertentu. Mungkin yang dimaksudnya itu dosa mas. Tapi entahlah! Kata dosenku dulu, sastra itu multi–tafsir ahahaha.”
“Ahahaha, ya ya. Tapi jika itu maknanya, aku agak tertarik. Seseorang pernah bilang padaku, sesungguhnya dosa itu lahir dari kurusetra, perang batin yang kompleks. Dosa atau tidaknya merupakan implementasi dari hal tersebut, atau tergantung dari siapa yang memenangkanya. Setiap Baratayuda yang berkobar akan membuat kita menjadi sakti dalam menyikapi hidup. Ya kira-kira seperti itulah, bukankah sesuatu banget Roy? Hahaha”.
“Iya mas, aku setuju.”
“Tapi aku belum paham kalimat terakhir dari sajak ini”. Katanya sembari kembali menikmati kopi.
“Ah, sudahlah. Kita sudah terlalu jauh masuk ke alam si pembunuh itu. Setidaknya aku sudah paham apa yang harus ditulis dari semua penjabarnmu tadi dan introgasiku tadi siang Roy.”
            Kutekan tombol power pada laptop apple ku dan beberapa menit kemudian aku sudah berada dalam dimensi alam pikir yang dalam. Intregasi antara informasi yang didapat dari tahanan itu dan apa yang kumengerti dari analisa Roy sudah menjadi peta konsep, lalu terangkai dalam kumpulan paragraf hingga beberapa jam berlalu. Kulihat Roy mengeluarkan mie seduh dari dalam tasnya, menyeduhnya sembari mengubah-ubah channel di teve layar datar.
“Mas, aku ingin tanya sama sampeyan. Ayah sampean bukanya orang gedean di daerah sampean, kok enggak ikut bapak aja?”

“Ahahaha, aku cuma ingin cari pengalaman Roy, biar sakti”. Dalihku, aku teringat bagaimana bujuk rayu saat itu pada orang tuaku agar dapat bekerja di perusahaan milik pamanku.

“Terus kenapa milih jadi penulis mas? Oh iya, maaf mas. Cuma sekedar tanya, katanya ketua redaksi kita dulu teman lama bapak sampean po?” Sambil melahap mie seduh favoritnya.

“Ah, kalo itu aku enggak tau. Dua bulan lalu aku baru lulus S-1 Managemen Akuntansi, cari kerja susah Roy. Adanya kerjaan ini ya okelah.” Dalihku sembari meraba keyboard pada laptop Apple di hadapanku. Kuperhatikan temanku itu semakin asik menikmati mie seduhnya, nampaknya ia sudah tidak akan mengajukan pertanyaan lagi, setidaknya untuk beberapa saat. Kulanjutkan artikel ini hingga selesai sebelum kurebahkan badan pada sahabat karibnya yang empuk.
            Raga sudah mulai larut bersama malam. Kuliahat dari tempat tidurku, temanku sudah tak bergerak di sofa ruang tengah. Tugas sudah terselesaikan, namun pikiranku masih saja ingin mencari jawab tentang segala hal dari puisi itu. motivasi apa dari tahanan itu sehingga puisi itu diberikanya padaku? Alam pikir makin melayang, lalu jatuh di antara bait-bait sajak yang seolah mengajaku berbicara.
“Kau akan lihat, bagaimana tuanku dalam menulis kami”.
“Ya, seharusnya memang kau tahu ketika tuanku membacakan kami, suaranya merdu dan penuh dengan emosi menggetarkan hati.”
 “Menempatkanmu di tempat yang sedang kamu pikirkan!
“Mengajakmu bernyanyi!”
Dan dia sebentar lagi akan mengambil nyawamu! Hahaha”

Detik-detik menjelang kematian - bernyanyi dengan malam
Kembali, pagi sudah mengubah gelap perlahan menjadi jingga hingga terang seutuhnya, dan juga di ufuk barat purnama masih menampakkan warna kuning yang kini mlah makin benderang. Ayam dan burung-burung gereja ternyata selalu berebut nasi basi yang disebar tetangga sebelah di pekaranganya. Desiran angin bak Jatayu yang menantang surya pagi itu.
“Gila, mimpi apa aku semalam” pikirku sembari membuka pintu, kulangkahkan kaki ke balkon.
Hmmm,  motor temanku itu sudah tak ada, nampaknya ia sudah bergegas jauh lebih dulu daripadaku. Padahal semalam ia menemaniku hingga terlalalu larut”. Batinku keheranan.
“Anak itu memang hebat, umurnya bebarapa tahun lebih muda dariku tapi semangatnya luar biasa, kuliah diselesaikanya dalam waktu kurang lebih lima tahun di jurusan Sastra”. Pujiku, namun tak kuduga pikiran itu mampu menyeretku dalam keluh kesah.
Krriiiiiiingggggg... kriiiiiingggg...
“Apa? Kabur? Sejauh mana polisi menangani?” Jawabku penuh penasaran
“Oh, tapi gimana bisa? Sel itu terbuat dari baja. Penjagaanya bukankah ketat sejauh ini?”
“Oke. Oke, kita ketemu di tempat biasa”
Kututup telfon itu kemudian dengan sigap berlari ke kamar hendak mengambil kunci mobil Honda Civic ku, namun tiba-tiba saja saat kuberpaling tenggorokanku terasa dingin dan anyir. Aku tak dapat berkata apapun, hanya sanggup merasakan sebuah benda tipis keluar perlahan demi peralahan dari tenggorokan. Seketika pandangan ini gelap, terdengar suara lirih seseorang:

“hanya akan semakin larut dalam gelap
jika cahaya rembulan tidak memantul dari segerombolan nisan di sela semak rerumputan
Aku tak tahu apakah ini makna dari baris akhir puisi itu, tapi setelah itu aku tak tahu apa-apa. Saat kusadar, aku sudah berada di tempat yang sepi dengan terang binar purnama. Kurasakan merdu suara burung malam yang mengajakku bernyanyi bersama purnama di antara ranting kamboja.
"Jiwa memang selalu mempertanyakan keberanian seorang lelaki"

                                                                                                      Selesai                                                                  

Share this article :

Follow this Blog



 
Support : Daniar Murdi(kotoran om dan)
Copyright © 2013. Menara Hitam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Menara Hitam
Proudly powered by Blogger