Sebuah Cerita Kematian
By:
Hari-hari menjelang kematian - bernyanyi dengan malam
Pagi sudah mengubah gelap
perlahan menjadi jingga
hingga terang seutuhnya,
hari ini di ufuk barat purnama masih menampakkan warna kuning yang kian memudar. Kuperhatikan dari balkon segerombolan ayam dan burung-burung gereja berebut
nasi basi yang disebar tetangga sebelah di pekaranganya. Sejenak pandanganku
tertuju pada gadis-gadis yang melakukan joging
di jalan aspal depan rumah, kunikmati segelas kopi dan segala keceriaan mereka.
“Pemandangan pagi ini makin
cantik saja, hahaha”. Batinku sembari memandangi lebih dalam para gadis-gadis
itu, tapi seperti biasa, ingatanku pasti terseret perkataan pamanku dulu.
“Aku lihat kegagalanmu pada
gadis-gadis itu, tapi paras gadis itu tidak pernah gagal dalam mencuri hatimu.
Bukankah begitu? Maka lakukanlah sebaliknya. Menurutmu apa yang para gadis itu
sukai dari seseorang lelaki? Harta? Lupakanlah gadis-gadis seperti itu”
Aku tersenyum mengingat perkataan
itu sembari kembali menikmati kopi yang berada di tanganku.
“Seseorang tidak akan menjadi
ahli pedang tanpa pernah menumpahkan darah lawanya. Seseorang tidak akan matang
dan dewasa tanpa pernah mengalami perang-perang dalam batinnya. Keahlian dari
proses itulah yang disebut hasil, dan akan membuat kamu sakti dalam memecahkan
setiap persoalan dalam hidup. Kalau ingin instant, gampang saja aku
memasukkanmu secara subjektif di perusahaanku. Maka besar
kemungkinan
pamanmu ini hanya akan melihat anjloknya kualitas perusahaan yang kakekmu bangun
dari nol itu. Kamu paham maksudku?”
“Aaahhhh! Aku benci bagian itu”
Gumamku.
Tapi
setidaknya ingatan akan kata-kata pamanku tersebut membuat aku kembali bersemangat
dalam bekerja. Kuhabiskan kopi seraya melangkahkan kaki kedalam untuk bersiap-siap
berangkat ke kantor. “ah, belum lagi siang ini aku harus menemui narasumber di sebuah
rumah tahanan untuk penulisan featurku.” Gumamku.
Siang hari di sebuah sel tahanan.
“Aku lihat orang tua dan anak-anak kurus tanpa
baju di pinggir jalan, bawah jembatan, sampai pada gubuk-gubuk kumuh di sana”
“Tapi aku juga lihat para orang-orang di
kantor mewah itu, tangan mereka seolah menegakkan jari tengahnya kepadaku lewat
jendela kaca, tawa mereka seperti sinis sembari meludahi jidatku. Ya, kurasa
uang buta itu lebih dari cukup untuk membangun panti asuhan, tempat tinggal
yang lebih terhormat daripada kolong jembatan ataupun gubuk tua yang hampir
roboh itu.”
“Kau tau mengapa aku sudah menyabet kedua
tangan mereka? Tangisku ini sudah membuatku buta, bujuk rayu dari air mataku
seolah isyarat kepedihan orang tua dan anak-anak kecil itu. Sesungguhnya saat
ini pikiranku sesak dengan darah dari tangan yang mengucur pada malam itu,
sesak oleh suara jerit dari sebuah tebasan. Jika pada hari penghakiman kelak
neraka meminta jiwaku, maka biarlah! Biar saja para penjagal neraka bertindak
sesukanya. Setidaknya pedang yang kugunakan tidak lebih tajam dari lidah
kemunafikan orang-orang itu, tidak lebih ringan dari tangan-tangan mereka dalam
memboyong uang rakyat”.
Gila, perkataan orang ini benar-benar
membuatku merinding, namun topik yang ia utarakan membuatku tertarik.
“Tapi bagaimana dengan mereka
yang juga menjadi penjambret, perampok atau kejahatan-kejahatan lainya” ujarku.
“ Cobalah telusuri dengan bijak!
siapa yang membuat mereka seperti itu? Andai saja uang gelap dari tikus-tikus di
sana diloyalkan sebagai sarana pendidikan murah, atau andai saja uang tersebut dapat
menjadikan anak-anak itu sakti secara moril, agama, dan intelektual.
“Oh, lalu bagaimana tanggapan
anda tentang..”
“Sebenarnya aku sudah muak dengan
semua ini! Rasanya aku ingin menghabisi bibit-bibit seperti tikus-tikus itu.”
Potongnya dengan nada yang makin meninggi.
Kulihat
jam tanganku, nampaknya satu jam bersama napi itu cukup untuk mentransformasikan
wawancara ini ke dalam bentuk artikel. Kuucapkan salam undur diri sembari
mengemasi alat recorderku.
“Ya, aku tau keputusan sidang kelak
mengharuskan aku mati, do’akanlah aku. Mungkin sel tahanan ini tempat singgahku
terakhir sebelum aku dieksekusi, tapi tempat ini jauh lebih baik daripada rumah
mereka yang didapat dari merampok uang rakyat. Hahahaha”
“Sial, aku bergidik melihat seorang psikopat
bernada seperti itu di hadapanku. Bagaimana bisa dia terlalu tenang dalam menghadapi
kematianya tersebut?” Gumamku sambil mulai beranjak dari hadapan orang itu.
Kulangkahkan kaki pergi dari
rumah tahanan, menstarter mobil Honda Civic ku. Setidaknya hal yang
kudapat dari tahanan tadi cukup untuk memenuhi tuntutan si ketua redaksi baru
itu, bahkan aku belum hafal namanya, belum lagi bahan ini disuruhnya kuolah
malam ini juga. Tapi pikiranku masih saja berada di tempat itu, kuteringat
informasi tentang bagaimana tahanan tersebut terjerumus dalam undang-undang
penganiyaan dan pembunuhan.
“Orang itu benar-benar gila.”Batinku sembari
menyetir
“Menjudgment korbanya demi orang lain yang belum tentu akan berterima
kasih padanya, bahkan mengingatnya pun belum tentu. Pemotongan bagian tubuh dari
ketiga “orang besar” itu kabarnya ia lakukan dengan tenang sekali seperti orang
yang biasa membunuh. Dari ketiga korbanya hanya satu yang selamat, kedua lainya
mengalami pendarahan hebat sebelum sampai di rumah sakit. Sesuatu yang aneh
adalah ketika penangkapanya, ia sama sekali tak melakukan perlawanan sedikitpun
dalam gubuk reotnya.”
“Sejauh
ini, asal-usul orang itu tidak ada yang tahu bahkan data-datanya tidak terlampir
di manapun, seolah tiba-tiba hadir di dunia ini begitu saja. Aku hanya dapat
mengingat orang itu berperawakan sedang, dari wajahnya nampaknya berumur
sekitar tiga puluhan tahun dengan sedikit kumis di atas bibirnya, berpakaian
kaos hitam oblong serta bercelana jeans panjang yang sobek pada lutut kirinya.
Hal paling mencolok dari orang itu ialah rambutnya yang setengah ikal terurai menyentuh
bahu. Anehnya lagi, setiap orang yang datang ke sel tahanan itu hanya akan
memperoleh jawaban yang sama denganku. Ah sudahlah, aku sudah larut dengan
kegiatan seharian ini, aku rindu pada sofa baru yang kubeli kemarin.”
***
Sore
itu sepoi angin menerobos ventilasi ruang tengah rumahku, menelusuri
sudut-sudut ruangan hingga akhirnya berhasil menemukanku duduk sembari menikmti
orange juice yang kubuat barusan. Tentu
saja ia merayu tubuh yang gerah ini untuk segera tenggelam pada sofa baru yang
empuk itu. Ketika kujawab rayuan tersebut, aku teringat akan sebuah gulungan
kertas berikat benang merah yang diberikan oleh tahanan itu tadi siang. Ia meminta
agar di buka saat waktuku senggang, perlahan kubaca dengan seksama.
“Sendiri
kucari jalan menuju kebahagiaan
meski suara burung malam
mencecah sunyi
keluh kesah jiwa mempertanyakan
keberanian seorang lelaki
memang terkadang awan tipis menyelimuti
purnama
seolah mengintip di antara kering
ranting kamboja
aku hanya akan semakin larut
dalam gelap
jika cahaya rembulan tidak
memantul dari segerombolan nisan di sela semak rerumputan”
“Sebuah sajak? Kenapa ia
memberikanya padaku? Apakah orang lain yang mencari informasi darinya juga diberikanya?
Adakah kiatanya denga apa yang dia ucapkan tadi siang” batinku.
“Menurutmu apa maksudnya?”
“Aku nggak tahu pasti mas,
agaknya orang itu menginginkan kamu mengetahui sesuatu atau mungkin ini cuma
sekedar cinderamata saja.” Jawab Roy sembari mengangkat gelas berisi kopi yang
kuhidangkan untuknya, tapi kulihat ketertarikanya akan sajak itu.
“Aku harus ngerti ini, setidaknya
akan menjadi feature yang bagus. Ketua redaksi baru kita emang
payah, terlalu perfeksionis. Itulah sebabnya kutelpon kamu tadi supaya datang
ke sini, ini harus selesai sebelum besok pagi Roy”.
“Dari sajak ini, aku mengira yang
bersangkutan memang ingin membunuh mas”. Kembali ia menyampaikan hasil
analisanya, kulihat matanya makin dalam ke arah sajak yang dipegangnya itu
“Ada yang menarik di sini. Analogikanya gini mas, purnama
akan terasa indah jika kita melihatnya bersama pacar kita ditempat yang
romantis, tapi tidak jika kita melihatnya di antara ranting kamboja atau di
sela-sela batu nisan. Jadi tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Begitulah kira-kira tafsirku pada baris lima dan enam. Mungkin juga dapat ditafsirkan
sebuah kematian yang selalu mengintai di
sela nisan ataupun di antara ranting
kamboja”. Jadi...”
“Oh, aku paham, kematian juga
tidak selamanya buruk? Tergantung diri kita sendiri menilainya. Bukankah begitu?”
Timpalku memutus penjelasan darinya
“Hmmm.. Sendiri kucari jalan menuju kebahagiaan, ini aku nggak tahu pasti. Tapi menurutku, meskipun manusia hakekatnya ialah
mahluk sosial, tapi dalam menginterpretasi kebahagiaan itu secara individual berbeda-beda
mas.
“Meski suara burung malam memecah sunyi” apa maksudnya itu? Ujarku
“Seperti kataku tadi mas, ini
adalah kalimat ketakutan yang ditulis oleh si penulis, mungkin seperti itu. Tapi
kalau yang ini aku paham, aku hanya akan
semakin larut dalam gelap, berarti ia semakin masuk ke dalam interpretasi
tertentu. Mungkin yang dimaksudnya itu dosa mas. Tapi entahlah! Kata dosenku
dulu, sastra itu multi–tafsir ahahaha.”
“Ahahaha, ya ya. Tapi jika itu
maknanya, aku agak tertarik. Seseorang pernah bilang padaku, sesungguhnya dosa
itu lahir dari kurusetra, perang batin yang kompleks. Dosa atau tidaknya
merupakan implementasi dari hal tersebut, atau tergantung dari siapa yang memenangkanya.
Setiap Baratayuda yang berkobar akan membuat kita menjadi sakti dalam menyikapi
hidup. Ya kira-kira seperti itulah, bukankah sesuatu banget Roy? Hahaha”.
“Iya mas, aku setuju.”
“Tapi aku belum paham kalimat
terakhir dari sajak ini”. Katanya sembari kembali menikmati kopi.
“Ah, sudahlah. Kita sudah terlalu
jauh masuk ke alam si pembunuh itu. Setidaknya aku sudah paham apa yang harus ditulis
dari semua penjabarnmu tadi dan introgasiku tadi siang Roy.”
Kutekan
tombol power pada laptop apple ku dan beberapa menit kemudian aku
sudah berada dalam dimensi alam pikir yang dalam. Intregasi antara informasi
yang didapat dari tahanan itu dan apa yang kumengerti dari analisa Roy sudah
menjadi peta konsep, lalu terangkai dalam kumpulan paragraf hingga beberapa jam
berlalu. Kulihat Roy mengeluarkan mie seduh dari dalam tasnya, menyeduhnya sembari
mengubah-ubah channel di teve layar
datar.
“Mas, aku ingin tanya sama
sampeyan. Ayah sampean bukanya orang gedean di daerah sampean, kok enggak ikut
bapak aja?”
“Ahahaha,
aku cuma ingin cari pengalaman Roy, biar sakti”. Dalihku, aku teringat
bagaimana bujuk rayu saat itu pada orang tuaku agar dapat bekerja di perusahaan
milik pamanku.
“Terus
kenapa milih jadi penulis mas? Oh iya, maaf mas. Cuma sekedar tanya, katanya
ketua redaksi kita dulu teman lama bapak sampean po?” Sambil melahap mie seduh
favoritnya.
“Ah, kalo
itu aku enggak tau. Dua bulan lalu aku baru lulus S-1 Managemen Akuntansi, cari
kerja susah Roy. Adanya kerjaan ini ya okelah.” Dalihku sembari meraba keyboard pada laptop Apple di hadapanku. Kuperhatikan temanku
itu semakin asik menikmati mie seduhnya, nampaknya ia sudah tidak akan
mengajukan pertanyaan lagi, setidaknya untuk beberapa saat. Kulanjutkan artikel
ini hingga selesai sebelum kurebahkan badan pada sahabat karibnya yang empuk.
Raga
sudah mulai larut bersama malam. Kuliahat dari tempat tidurku, temanku sudah
tak bergerak di sofa ruang tengah. Tugas sudah terselesaikan, namun pikiranku
masih saja ingin mencari jawab tentang segala hal dari puisi itu. motivasi apa
dari tahanan itu sehingga puisi itu diberikanya padaku? Alam pikir makin
melayang, lalu jatuh di antara bait-bait sajak yang seolah mengajaku berbicara.
“Kau akan lihat, bagaimana tuanku
dalam menulis kami”.
“Ya, seharusnya memang kau tahu
ketika tuanku membacakan kami, suaranya merdu dan penuh dengan emosi menggetarkan
hati.”
“Menempatkanmu di tempat yang sedang kamu pikirkan!
“Mengajakmu
bernyanyi!”
“Dan dia sebentar lagi akan
mengambil nyawamu! Hahaha”
Detik-detik menjelang kematian - bernyanyi dengan
malam
Kembali, pagi sudah mengubah gelap
perlahan menjadi jingga
hingga terang seutuhnya, dan juga di ufuk barat purnama masih menampakkan warna kuning
yang kini mlah makin benderang. Ayam dan burung-burung gereja ternyata selalu berebut nasi basi yang
disebar tetangga sebelah di pekaranganya. Desiran angin bak Jatayu yang menantang surya pagi itu.
“Gila,
mimpi apa aku semalam” pikirku sembari membuka pintu, kulangkahkan kaki ke
balkon.
“Hmmm, motor temanku itu sudah tak ada, nampaknya ia
sudah bergegas jauh lebih dulu daripadaku. Padahal semalam ia menemaniku hingga
terlalalu larut”. Batinku keheranan.
“Anak itu memang hebat, umurnya
bebarapa tahun lebih muda dariku tapi semangatnya luar biasa, kuliah
diselesaikanya dalam waktu kurang lebih lima tahun di jurusan Sastra”. Pujiku,
namun tak kuduga pikiran itu mampu menyeretku dalam keluh kesah.
Krriiiiiiingggggg...
kriiiiiingggg...
“Apa? Kabur? Sejauh mana polisi
menangani?” Jawabku penuh penasaran
“Oh, tapi gimana bisa? Sel itu
terbuat dari baja. Penjagaanya bukankah ketat sejauh ini?”
“Oke. Oke, kita ketemu di tempat
biasa”
Kututup
telfon itu kemudian dengan sigap berlari ke kamar hendak mengambil kunci mobil Honda Civic ku, namun tiba-tiba saja
saat kuberpaling tenggorokanku terasa dingin dan anyir. Aku tak dapat berkata
apapun, hanya sanggup merasakan sebuah benda tipis keluar perlahan demi
peralahan dari tenggorokan. Seketika pandangan ini gelap, terdengar suara lirih
seseorang:
“hanya akan semakin larut dalam
gelap
jika cahaya rembulan tidak
memantul dari segerombolan nisan di sela
semak rerumputan”
Aku tak tahu apakah ini
makna dari baris akhir puisi itu, tapi setelah itu aku tak tahu apa-apa. Saat
kusadar, aku sudah berada di tempat yang sepi dengan terang binar purnama.
Kurasakan merdu suara burung malam yang mengajakku bernyanyi bersama purnama di
antara ranting kamboja.
"Jiwa
memang selalu mempertanyakan keberanian seorang lelaki"
Selesai